kereta jogja - solo

Ini tulisan tentang kereta. Tapi bukan krl jakarta atau MRT malaysia, ini tentang kereta prameks solo-jogja.
Long time nggak make jasa transportasi ini, semenjak tiket prameks yang suka sold out dan nggak accessable untuk keberangkatan dadakan, aku jadi jarang make kereta. Apalagi sejak tahun lalu aku udah hijrah ke Bekasi.
But, beberapa hari lalu aku naik kereta dari Stasiun Tugu Jogja ke Purwosari Solo, kereta udah stand by di jalur 1 dan setiap gerbong masih banyak kursi kosong untuk ditempati. So far, karna Stasiun Tugu adalah pemberangkatan dan pemberhentian terakhir.
Jadi singkat cerita, kursi didalam prameks berkonsep seperti kursi kereta ekonomi jarak jauh. Bedanya pintu bukan ada di ujung gerbong tapi pintu ada “agak tengah” yah seperti kereta krl lah. Aku duduk di pinggir pintu masuk, berhadap hadapan dengan penumpang lain. Waktu itu jam stengah 3 siang, ujung ujung perjuangan puasa gitu. Dan karna aku ngantuk, tidurlah sampe di stasiun Maguwo, stasiun bandara. Kereta mulai penuh, tapi aku ngerasa bodo amat lah, jarang jarang dapet  tempat duduk, lagipula secara sekilas mayoritas yang berdiri disekitarku adalah bapak bapak dan sebagian lain mba mba.
Kulanjutkan lah tidur dengan headseat ditelinga...
Tapi 30 menit perjalanan aku terbangun... pemahaman tentang penggunaan gadget yang telah merampas hiruk pikuk kehidupan sosial membuyarkan kantukku. Cielah. Terngiang ke kepalaku dulu sebelum ada hape secanggih sekarang, saling bertegur sapa dan bercengkrama adalah barang gratis untuk melepas penat selama perjalanan. Sekarang...
Dan karna sejak dari stasiun maguwo ku melihat mba mba dengan tas besarnya berdiri tepat dihadapanku, aku jadi tak tega untuk berdiam diri. Sedangkan... yah, aku lagi nggak puasa hari itu haha—maksudku kursi ini sepertinya lebih berhak untuk dia daripada aku, mungkin saja mba itu dari perjalanan jauh, duduk barang sejenak mungkin sudah nikmat baginya. Begitulah pikiran positifku bekerja, negatif nya belakang aja...
Bodo amat dengan sok baik, mending sok baik daripada nggak punya jiwa sosial kan...
Jadi bergeraklah mulut dan badan ini, “mba, turun mana?”
“purwosari” jawabnya agak kaget karena tiba tiba aku bertanya disenyapnya gerbong kereta.
“Mau gantian duduk nggak mb?”
“Mba mau turun?”
Aku meringis, “Nggak sih mba, Purwosari juga” aku mulai berdiri, “nggak apa-apa mba... lagipula aku nggak puasa” ucapku lirih biar nggak didengar orang wkwk dan mba nya mau duduk.
“nggak usah, beneran kok... eh aku duduk disitu aja, boleh kan?” si mba menunjuk pinggiran kursi—yang bisa untuk di duduki.
“Oh.. iya, boleh kok mba duduk situ”
Akhirnya nggak ada yang mengalah untuk berdiri tapi kita sama sama duduk, ku agak geser dan mbanya duduk di pinggiran kursi. “berdiri 1 jam juga lumayan capek mba, aku pernah ngerasain rasanya pengen duduk” celetukku ringan. Tak lupa sambil senyum meringis.
Dari penawaran singkat itu, dibukalah obrolan kita dari saling sapa, asal kuliah, lagi apa disini, mau kemana. Sampai dunia begitu sempit dan dari diapun aku tahu kalau dari Palembang menuju lubuk linggau ada kereta seharga 39 ribu dengan jarak tempuh 9 jam. Atau naik mobil dengan jarak tempuh 6 jam. Dan menurut dia lebih baik turun dari bengkulu. Atau sekarang sudah ada bandara di Lubuk linggau. Pesawat dari Jakarta dan palembang. Bahkan tentang objek wisata dan berbagai info aku dapatkan dari mba mba dalam kereta.
Oh... betapa lebih berharganya menyelipkan handphone untuk sementara dan membuka obrolan dengan orang lain, bahkan orang asing.
Tak perlu bayar kuota, tak perlu batere habis...
Ohh ku rindu Yogyakarta yang walaupun teknogi sudah menggerus jiwa sosial, tapi setidaknya orang orang yang datang disini masih mau membuka obrolan...
Sungguh ku masih terngiang ketika aku pulang dari kantor saat magang di Jakarta, aku duduk ditepi kursi bus 213 jurusan kampung melayu. Bus ukuran sedang yang cukup tua, dengan penumpang penuh salah satunya bapak bapak lumayan tua. Aku refleks berdiri walaupun rasanya ingin duduk juga. Tapi ku persilahkan si bapak setengah kakek itu untuk duduk. Tak disangka beliau tak mau, dan akupun tetep berdiri—nanggung antara malu dan gimana gitu. Dan tak disangka lagi, saat aku turun temenku dengan enteng “Ngapain lo ngasih kursi sama orang. Disini tu bodo amat sama bapak bapak ibu ibu, semua sama aja. Nggak usah gitu mer”
Oh my ---
Gue spechless nggak tahu harus ngomong apa. Yah mungkin aku terlalu polos, atau nggak semua orang berpikiran seperti temenku atau blablabla...
Tapi benarkan Ibukota sebegitunya? Apakah ibukota memang tidak seramah itu? Atau aku yang saat itu terlalu polos tak bisa membaca situasi?
Entahlah... ku harap, tidak di Yogyakarta, di Jakarta dan dimana pun itu, tegur sapa khas Indonesia tidak terkubur terlalu dalam, semoga kecanggihan teknologi tidak menutup jiwa manusia untuk saling bersosialisasi...



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Magang di Bappenas (2016)

Trail Running Gunung Gede

itinerary perjalanan Tana Toraja [Day 2]