Sebuah cerita, yang terbiasa datang dan pergi
Hari itu langit nampak
cerah dari dalam sini. Secerah wajahku saat presentasi dari perusahaan kami
diterima baik oleh client.
“Sa, mas-mas yang duduk
di paling pojok mirip Darius Sinathrya ya” Arin akhirnya mengucapkan kalimat
itu setelah sejak kami duduk, kakinya tak henti hentinya menendangku, memberi
kode.
“Mana sih”
“Mana sih”
“Itu tuh....”
“ih masa sih, enggak
deh” Kami lalu berdiri mengakhiri pertemuan ini dengan berjabat tangan, dan
sesaat setelah Pak Anton pergi duluan, Riza langsung menghampiri laki-laki yang
di incar Arin. “Rin, Sa, sini, temen gue nih”panggilnya.
Aku merapikan beberapa
berkas lalu menghampiri Riza. “
Sasa dari tadi ngomongin lo mulu nih, katanya lo
mirip Darius. Sa, ini temen SMA gue” Riza seperti biasanya asal nyablak.
“Bukan gue kali Za” sangkalku sambil melirik ke arah Arin.
“Udahlah, kenalan dulu”
Keningku berkerut, apes
banget ini, semua gara-gara Arin berisik mulu pas presentasi dan Riza si bawel
ini denger karna duduk disebelahku. “Whatever lah, Riza emang gitu anaknya.
Sasa” ujarku memecah kecanggungan, memulai perkenalan.
“Rega”
“Rega”
Sudah 3 bulan semenjak pertemuan dan perkenalan yang nggak disengaja itu. Dan sejak itu, entah disengaja atau tidak, aku, Erga, Riza dan Arin sering keluar. Entah hanya sekedar makan siang, makan setelah pulang dari kantor, sampai nonton film di Ayara Plaza. Semua itu lebih sering tanpa rencana.
Aku
tak pernah berencana berkenalan dengannya, dan aku nggak yakin apakah Erga
menanggap serius kalau akulah yang mengaguminya saat presentasi kala itu. Dia
lebih sering diam, tapi diamnya mampu memunculkan banyak pertanyaan seperti
hari ini. Ada satu notifikasi pesan masuk siang itu, “Sa, keluar yuk ntar
malem, ada pameran di Ayara".
“Oke” ku iyakan ajakannya tanpa bertanya dengan siapa kita berangkat.
“Oke” ku iyakan ajakannya tanpa bertanya dengan siapa kita berangkat.
Dan disinilah kita, duduk berhadapan
setelah selesai memutari pameran. “Ku pikir tadi Riza ikut”
Percakapan kami ujung-ujungnya selalu tentang buku. Aku tidak tahu kalau seorang Erga yang lebih banyak diam, dan susah ditebak itu banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku, novel tepatnya.
Ku tatap wajahnya, “Za, boleh nggak jangan bahas ini?” Riza diam setelah wajah uncontrolku ini keluar. Riza tahu kalau aku sedang dalam tahap tidak ingin mengenal apa itu cinta setelah tau rasanya ditertawakan dibelakang oleh orang yang ku anggap lebih dari teman.
“Nggak sih, dia ada acara”
Aku
mengangguk saja tanpa mengulik lebih dalam. “Ga, berkas yang kemarin aku kirim
itu, masih ada yang kurang kah?”
“Udah sa, sorry nggak aku balas ya.
Kenapa kita nggak ngobrolin hal lain selain kerjaan?”
“hahaha
sorry tiba tiba keinget aja. Eh aku abis beli buku The World favourite, dan
kayaknya kamu harus baca itu!”
“Serius? Kamu udah selesai baca?”
“Serius? Kamu udah selesai baca?”
Percakapan kami ujung-ujungnya selalu tentang buku. Aku tidak tahu kalau seorang Erga yang lebih banyak diam, dan susah ditebak itu banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku, novel tepatnya.
Mulai
sejak itu, aku lebih sering pergi dengan Erga karena Arin sibuk dengan pacarnya
sementara Riza suka sok sibuk kalau diajak. Aku tak pernah bertanya kenapa dia
selalu mengajakku walau hanya beli buku sampai nonton konser. “Lo kok nggak
peka sih Sa, dia itu demen sama lo” Riza membuatku tersedak karena ucapannya
barusan. “Za, minum Za” aku meraih segelas air mineral yang diulurkan Riza dari
tasnya. “Za, ini bukan minum gue”
“Ah bawel aja, minum aja ngapa,
masih kesegel itu”
Ku
habiskan hampir setengahnya. “Lo bikin mood gue jelek aja sih”
“Gue nggak ngomong apa-apa kali, lo
aja yang lebay”
“Gue
lagi...”
“Abisnya, lo nggak tau apa, gue udah
sengaja suka ngabur lo nya kagak peka”
Kudengarkan
saja ceramah Riza siang itu. “Buktinya Erga suka ngajakin lo jalan, pandangan
dia ke lo juga beda—“
“Za,
udah deh” ku letakkan sendokku dengan sedikit penekanan. “Boro-boro gue percaya
omongan lo, sekalipun Erga yang ngomong pun gue belum percaya. Gue udah
pernah kayak gini Za, persis seperti yang lo omongin, ngajak jalan, pandangan
yang beda. Dan bagi gue semua yang lo sebutin itu nggak ada artinya. Mereka itu
nganggep gue temen, dan gue nggak mau diketawain karna masuk jebakan perasaan
yang sebenernya nggak ada”
“Lo kok jadi trauma gitu sih, kan nggak semua cowok kayak gitu”
“Lo kok jadi trauma gitu sih, kan nggak semua cowok kayak gitu”
Ku tatap wajahnya, “Za, boleh nggak jangan bahas ini?” Riza diam setelah wajah uncontrolku ini keluar. Riza tahu kalau aku sedang dalam tahap tidak ingin mengenal apa itu cinta setelah tau rasanya ditertawakan dibelakang oleh orang yang ku anggap lebih dari teman.
Sampai beberapa minggu setelah pameran itu, aku melihat Erga dengan seseorang sedang di Ayara Plaza,
keluar dari gedung bioskop dengan tawa renyahnya dan tanpa sengaja melihatku.
Duniaku seketika membeku, bahkan aku tak berpaling. “Sasa... lo bodoh banget
sih, pura-pura nggak ngerti aja kan bisa” aku menggerutu sendirian sampai
ditengah perjalanan Erga menghampiriku, aku berbalik meninggalkannya. Dan saat
itu aku seperti tertangkap basah sedang mencuri sandal masjid lalu kabur.
Samar
samar ku dengar Erga memanggilku tapi kuhiraukan. Bukankah sudah kubilang kalau
semua hal tentang makan dan pergi berdua hanya sebatas kegiatan penghilang rasa
jenuh akan padatnya pekerjaan?
Bukankah aku tau bahwa semua itu tidak ada artinya, seperti yang lalu lalu? tapi kenapa ada yang tidak beres di dalam sini, tolong beritauku aku
**
**
**
Komentar
Posting Komentar