cerita dari Rawa Embik menuju Savanna Lonceng ; Senyap
Perjalanan panjang 5 hari tanpa listrik dengan 1 kamera LSR,
1 kamera pocket dan 1 kamera handphone tidak cukup untuk mengabadikannya.
Terkadang ada saat dimana pemandangan dan cerita perjalanan tidak terekam dalam
foto. Entah karena terlalu menikmati perjalanan atau terlalu lelah untuk
mengeluarkan kamera dan membidiknya. Tapi kepingan cerita yang terekam dalam
otak lebih tajam untuk di ingat. Dan lebih seru untuk di tulis dalam sebuat
cerita ...
Sepi, sangat sunyi. Bisa ku bayangkan bagaimana jika terjadi
sedikit kesalahan. Tak ada orang. Diam memilukan. Berteriak mengerikan. ini hari ke 3 di dalam hutan ...
Sedikit yang aku rasakan saat berjalan dari rawa embik
menuju savanna lonceng. Tidak ada petunjuk jalan menujuu savanna lonceng saat
di rawa embik. Hanya ada petunjuk ke kanan menuju puncak, itupun masih lama.
Namun insting mengatakan perjalanan harus ke kiri karena kita berencana ber
malam sekali lagi sebelum sampai puncak. Dan rombongan om lilik membuat hari
hari kita lebih berwarna.
Kita berjalan menyusuri jalan setapak. Melewati savanna
kecil, melipir di pinggiran sambil sesekali membungkuk membenahkan keril yang
semakin berat. Semua botol air terisi untuk persediaan sampai besok sore. Siang
menjelang sore, kami mulai memasuki
hutan. Menanjak membelah hutan yang sempat terbakar. Sisa nya masih, namun
warna hijau kecil kecil sudah mulai muncul. Jalan terus menanjak dan cukup
terbuka. Terik sekali tapi dingin menyelimuti. Ditengah tengah perjalanan kita
berhenti sebentar, hanya ada aku dan Kendar memulai perjalanan. melepas jaket
yang awalnya dipakai untuk menghalau angin dan dingin. Tidak ada suara apapun,
hanya ada suara nafas yang naik turun, meminta beristirahat. Sesekali suara
burung mewarnai siang yang sepi.
hutan paska kebakaran |
Di ujung perjalanan menanjak kita dihadapkan hutan yang
sesungguhnya. Hutan yang jarang dijamah, di kunjungi. Speed jalan berubah
mengikuti pola jalan yang mendatar. Beberapa kali kita yang hanya berdua
melewati terowongan alami dari bunga edelwis yang sangat tinggi. Suasana disini
dingin, semakin sore semakin hijau menghitam, gelap dan sunyi. Pohon pohon
tinggi menyebar dari pinggiran tebing sampai dasar lembah. Kita akhirnya
beristirahat di sebatang pohon yang tumbang. Aku ada ditengah tengah hutan,
didalam hutan dimana apapun kejadian buruk yang terjadi tidak akan ada orang
yang tahu kecuali ada yang orang melewati tempat ini. Kendar yang meminta
istirahat. Sejujurnya aku ikut lelah tapi perasaan lebih kuat untuk menyuruh
terus berjalan daripada harus berhenti. Tapi sekali ini aku berhenti dulu
sambil memperhatikan arah jejak kaki karena ada 2 percabangan jalan. Kita
berada di tepian lembah. Percabangan ini aku rasa menuju ke 1 tujuan. Setelah
beberapa menit kita beristirahat, kita mengangkat keril lagi. Berjalan lagi...
Suara detak jam tangan terus terdengar, dari beberapa waktu
lalu aku sudah tidak menemukan sinar matahari. Tapi untungnya masih terang,
teduh. Setelah berjalan mendatar melewati tepian lembah, kita di hadapkan
dengan jalanan menanjak walau hanya hitungan langkah. Kita berdua mendengar
suara suara manusia dari arah belakang, rombongan Jakarta. Dimana mendengar
suara yang kita kenal selain suara kita, aku cukup bahagia. Kita menyingkir,
mencari tempat untuk mempersilahkan mereka berjalan duluan sambil menghindari
debu yang cukup tebal seiring langkah kaki .
“Ayo
mba duluan”
Salah satunya menyuruhku untuk berjalan lagi. “Duluan aja
mas, kita istirahat dulu” sambil tersenyum aku mempersilahkan mereka berjalan
duluan. Kami bercengkrama sambil mereka berjalan satu persatu melewatiku.
“Gimana mas disini, nggak nyesel ya jauh jauh kesini?”
“Yoi,
keren deh. Nggak nyesel”
Ternyata bukan Cuma aku dan Kendar yang menikmati surga
dunia ini, mereka pun menyutujuinya.
“Gimana
mas perbandingannya sama gunung di Jawa Barat?
“Wah aku bukan dari Jakarta mba, dari Palembang”
Oooo...
gue salah vroh! Seketika aja lah ya salah tingkah. Seinget ku ada yang pernah
bilang mereka dari Jakarta. Jadi sebenarnya? Entahlah. Tapi mas nya enggak
ambil pusing dan pamit meninggalkan kita. Setelah debu berterbangan pergi, kami
memulai langkah lagi. Selalu beruntung karena Kendar selalu mempersilahkan aku
berjalan didepan, memutuskan memilih jalan dan tidak menghirup debu dari
langkah didepan.
Setelah jalan menanjak yang cukup menguras tenaga dan
berdebu itu kami dihadapkan dengaan tumbuhan perdu dan cukup rapat, setelah itu
savanna kecil menyambut kita. Harus ku akui aku mulai lelah dan kakiku cukup
pegal untuk melanjutkan perjalanan. tapi itulah Kendar, selalu saling
menyemangati walaupun tidak harus di ucapkan. Ya, cukup dengan mata dan isyarat
kita selalu tahu kapan kita lelah, ingin istirahat atau pun menyemangati. Di
titik awal savanna pundakku terasa lebih berat, mungkin karena ada sekitar 5-6
liter air di dalam tasku. Aku meletakkannya lalu meluruskan kaki. Masih terasa
sunyi disini. “Ndar, kita istirahat agak lama ya” ku lihat jam menunjukkan
pukul setengah 5 sore. benar benar lelah kali ini. Aku lupa kalau seharusnya sekarang kita udah sampai di
savanna lonceng. Keinginanku berubah dan meminta Kendar untuk melanjutkan
perjalanan tanpa membuka cemilan ringan.
Beberapa
menit melangkah, suara suara manusia terekam telingaku lagi, dan di balik
savanna yang ternyata masih ada savanna lagi ku dapati tenda yang sudah berdiri
di sisi kanan di bawah pohon. Subhanallah, enggak inget kalau tujuan kita
namanya savanna. Nggak terpikir juga kalau tempat isitrahat kita tadi sudah
sampai di savanna bernama savanna lonceng. Camp terakhir menuju puncak. Yang
selalu aku lakukan saat melihat lahan camp adalah menengok ke belakang,
tersenyum, atau nyengir lebar ke Kendar. “Bro kita sampai!!” akhirnya
perjalanan seharian selalu di lepas dengan senyuman di lahan camp.
Yang aku pelajari dari perjalanan ini adalah dimana aku
masih belum bisa mengikuti ritme orang. tapi sangat bersyukur karena Ghufron
dan Yanuar selalu menemani ritme Andini berjalan dibelakang. Beberapa menit
setelah kita duduk dan membongkar tas di kejauhan ada Ghufron Yanuar dan Andini
berjalan kea rah kami. Ternyata tas Andini di bawain sama Ghufron. Dan itu
dilakukan di tempat yang sama saat aku meminta istirahat. Betapa senengnya
dengan 4 orang yang ku kenal ini. Nggak pernah ada bisik bisikan di belakang,
nggak ada yang mengeluh di belakang, dan sepahit pahitnya perjalanan selalu di
tutup dengan canda tawa di penghujung malam. I love you guys J
Komentar
Posting Komentar