kepingan cerita perjalanan turun menuju Danau Taman Hidup
Sebenarnya tidak banyak yang diceritakan saat perjalanan turun. Terlepas dari perjalanan cukup mencekam semenjak dari puncak arca sampai di danau taman hidup. Kondisi jalan yang dilewati dari puncak cukup beragam, melewati turunan terjal, pinggiran lembah, pepohonan tinggi, ilalalang, pos cemara lima dan hutan lumut. Kami ber 5 menjadi rombongan terakhir dari 3 rombongan yang ada. Sedangkan aku dan Kendar kembali di garda depan. Berjalan cukup cepat menuruni turunan terjal berbatu dan berdebu. Lalu kami di sambut dengan pohon pohon pinus tinggi dengan jarak berjauhan. Mengingat kami pernah mendengar suara dan melihat babi di alun alun besar dan cisentor, kita berdua sedikit was was saat disini. hanya berdua lagi. Sesekali aku menengok ke belakang dan Kendar menyuruhku terus berjalan. Awalnya tidak ada firasat apa apa namun ketika aku mendengar suara aneh aneh dikejauhan aku berhenti dan menengok ke belakang lagi. Raut muka Kendar menurutku berubah dari sekian kali aku menengok ke belakang. “Jalan agak cepet Mer, biar bisa ketemu rombongan Jakarta. Kayake mereka istirahat”
Aku
melaksanakan instruksi Kendar, berjalan lebih cepat lagi karena jalur cukup
lebar tapi harus berlari zig zag. Sejujurnya ini perjalananku yang pertama
dengan berlari pake carrier. Hha gilak, gueh kuat jugak ya wkwk. Benar saja,
tidak lama kami berlari, akhirnya bertemu dengan rombongan dari Jakarta yang
sedang beristirahat di sebuah lahan yang cukup luas. Karena dari awal
perjalanan sampe disini memang tidak ada lahan datar untuk beristirahat. Seketika
saja aku langsung mengerem meminimalkan debu.
“Istirahat bentar mba”
Karna
tujuan kita mencari keramaian dan istirahat, kami akhirnya bergabung. Namun
kami di sisi jalur yang berbeda, mencari lahan yang tidak terlalu berdebu. “Iya
mas, mau istirahat juga nih. Cemara lima di mana ya mas?” Iseng juga aku nanya
karena kami sekarang ada di hutan pinus.
“Wah
ngga ngerti tuh mba” mereka tertawa karena mereka juga ngga tau, mungkin cemara
berjumlah 5. Di situlah kita mengobrol cukup lama. Yang akhirnya ku ketahui
beberapa diantaranya mahasiswa UGM juga, anak teknik yang berasal dari berbagai
daerah. Cuma itu aja dan mereka sempet ngeledekin ngomong sama Kendar, “mas itu
temennya cowok apa cewek”
Duh,
yah aku mah udah nggak peduli muka udah gimana secara udah 4 hari enggak mandi
haha. Lari? Aku juga nggak tau kekuatan dari mana, mungkin ketakutan. Aku dan
Kendar pamit duluan untuk berjalan lagi setelah membuat 1 ramuan minuman
penguat tenaga. Hehhehe adalah itu merk nya yang warna kuning. Pertama kali
juga tuh minum itu digunung. Kendar ngeledek, “Noh dikiran cowok, disemangatin
biar jalannya cepet”
Kita
awalnya berjalan, agar tidak membuat debu di belakang, lalu berlari lagi karena
jalan akan terus turun. Wusss asik juga sih ternyata bisa lari dijalanan turun,
dulu awal awal masih cupu dan jalannya ngerambat. Tapi pasti nanti akan disusul
rombongan belakang lagi. Yup benar saja, beberapa menit kita berjalan sudah
disusul oleh mereka haha. Jalanan terus turun tiada henti, tapi untungnya
dengkul masih bersahabat. Tidak ada hambatan. Tapi harus ku akui, kehilangan
keseimbangan bisa saja jatuh ke depan.
Lalu
kita dihadapkan dengan cerukan diantara dua bukit, melewati ilalang rapat
serapat rapatnya. Saking rapatnya aku harus menyibak ilalang setinggi 1,5
meter. Beruntungnya aku tidak bertemu apa apa setelah menyibak ialalang. Tapi
jalur itu hanya sebentar karena setelahnya jalan menanjak masih dengan vegetasi
pinus. Aku dan Kendar menyiapkan tenaga tapi ternyata Kendar tertinggal di
belakang. Aku duduk di tengah tengah jalur menanjak, meyandarkan keril. Tidak lama berlalu kemudian Kendar datang.
“Ghufron belum keliatan ya?”
Kendar
menggeleng, dari raut mukanya dia ingin duduk juga. Aku dan Kendar sempat
berdiskusi. Menunggu mereka bertiga atau lanjut berjalan lagi pelan pelan
sambil menunggu. Kita mengambil keputusan istirahat sebentar saja lalu
melanjutkan perjalanan. tapi samar samar suara lonceng membangkitkan semangat
kita. “ndar denger deh” aku menatap Kendar penuh harap. Kendar sama
semangatnya. Kita yakin itu Ghufron karena dari hari pertama hanya ada 3 rombongan dan yang membawa lonceng adalah
Ghufron. Tapi ternyata harapan itu musnah ketika suara itu muncul dari atas
bukit, bukan dari arah puncak. Kita berdua menoleh ke belakang dan bertemu
dengan 2 orang dari atas. Oh ya, kita sudah berada di jalur pendakian Bremi.
Itu artinya ada kemungkinan orang lain yang naik siang ini. “siang mba, mas”
salamnya. Suara gemerincing lonceng terdengar nyaring dari kerilnya.
“siang
mas, istirahat dulu mas”
“iya mba. Puncak masih jauh ya mba?”
Pembohongan
para pendaki, “Lumayan mas, 2 jam an dari puncak, tpi turun” celetukku, tidak
sepenuhnya berbohong karena biasanya mereka menjawab “itu mas/mba, bentar lagi
kok” hha. kita duduk bersama dulu saling tukar cerita, mereka juga rombongan
tapi jalannya terpisah. Aku membatin sama juga kayak kita. “udah berapa hari
mba di Argopuro?”
Aku
menerawang, “ehm, 4 hari ini mas, hari apa sih ini?” basa basi aku bertanya,
karena aku samar samar mulai lupa hari mengingat jamku hanya jam analog biasa.
“Selasa mba, nih” dia menjulurkan jam tangannya di depanku. “ho, iiya lama juga
ya diArgopuro”
Percakapan
singkat mengakhiri pertemuan kami untuk melanjutkan perjalanan masing masing.
Aku dan Kendar berjalan naik lagi. Perasaan was was sedikit berkurang karena
bertemu dengan manusia lain. Ku langkahkan kaki dengan tatapan menunduk,
berharap tiba tiba sudah sampai di atas bukit. Kita berjalan melewati
perkebunan pinus seperti area camping. Lalu bertemu dengan pendaki lain namun
sendirian, duduk di atas batang pohon tumbang, bekas lahan untuk mendirikan
tenda. “mba, ketemu 2 orang didepan nggak ya?”
“Iya mas tadi ada 2 orang
didepan” ada segurat perasaan lega di matanya, “Nggak jauh kok tadi dibawah
sana, duluan ya mas”. Dia mengangguk lalu melanjutkan istirahatnya. Hm, nggak
ngeri apa ya sendirian gini. Aku berjalan lagi, masih dengan jalur yang sedikit
menanjak tapi masih nyaman untuk berjalan. Saat melintasi pinggiran bukit, tiba
tiba air menetes dari atas, mengenai mukaku. Ku tengok keatas dan ternyata
kabut berjalan lumayan cepat dari arah kanan kita. “Ndar, ini air kabut nggak
sih, bukan hujan kan?”
“Bukan”
kendar mengiyakan, “Jalan terus aja Mer”
Aku berjalan lagi, tapi tetesan air makin besar dan kulihat
kabut datang semakin tebal dengan suara angin yang cukup kencang. “Ndar,
kabutnya kenceng banget pake angin” aku jadi teringat saat kita terjebak badai
di gunung merbabu. Aku berhenti karena Kendar juga hanya diam, mengamati
situasi. Aku ikut diam. Lalu mencari sesuatu untuk duduk, berfikir, ku kira
tidak mungkin melanjutkan perjalanan dengan kabut setebal itu. Lalu Kendar
mencari tempat agak masuk untuk buang air kecil. Aku menunggu di pinggir jalur,
kabut itu datang dari balik bukit sebelah kanan. Aku bersyukur bukit melindungi
kita dari kabut. Dan berharap kabut tidak ikut datang ke arah teman kita
dibelakang. Kuamati kabut kearah berlawanan dari arah puncak.
Kendar datang sambil mengusap
usap telapak tangannya. Ditengah kepanikan, kendar membuatku tertawa karena
tangannya terkena daun gatal khas Argopuro wkwk. Aku sudah 4 hari ini membatin
mencari daun ajaib itu, eh malah Kendar yang kena. Setelah menertawakan Kendar,
kita kembali lagi focus tentang kabut. Aku akui ada perasaan takut saat itu.
Suaranya cukup mengerikan. Kita masih berlindung dibalik bukit. “Mer” suaranya
menggantung memanggilku, “kalau kabutnya nggak ilang, kita nge camp dibawah ya”
Aku tergelak, “Enggak!” kulihat
kabut berharap menipis, “Tunggu sampai 15 menit, aku yakin kabut udah hilang”.
Kendar menyanggupi. Sambil menunggu kabut pergi, aku berunding dengan Kendar
tentang antisipasi hal lain, panic juga apakah 3 orang dibelakang membawa jas
hujan. Karena packing hari ini agak berantakan. Semenit dua menit 5 menit kabut
berangsur angsur menghilang. aku tersenyum lega.
“Gimana nih? Jalan?”
“Jalan aja Mer” aku kembali
berjalan, perlahan namun pasti. Sambil mengamati kabut yang tiba tiba datang
lagi namun tidak disertai angina seperti tadi. “aku jalan ya, tapi kamu jangan
jauh jauh.”
Sebelum aku mengatakan jarak aman
untuk berjalan, Kendar sudah memperingatkanku “oke. Kalau jarak pandang 5 meter
masih bisa liat, jalan terus Mer”
Aku menangkap instruksi Kendar,
berjalan menapaki jalan mendatar menyeberang ke bukit yang lain. Beberapa menit
berjalan kabut masih ada namun menipis dan kita bertemu dengan 2 pendaki lagi.
Satu cewek memakai daypack dan 1 nya lagi cowok membawa carrier, menurutku sih
isinya logistic yang cewek juga hho. Kita terus berjalan sambil sesekali
berlindung di balik pohon besar jika kabut tiba tiba datang lagi. Setelah itu
cuaca kembali cerah. Kendar cukup membuatku down saat bilang kalau jalanan akan
naik sampai diatas bukit itu. Alamak, itu tinggi kali, udah capek duluan
ngeliatnya. Tapi pas ketemu pendaki lagi bilangnya nggak akan ada jalan menanjak
lagi kok sampai bawah. Itu serius. Hahahah.
Dan benar saja, jalanan terus
menerus turun kebawah. Kita terus berjalan melewati tepian lembah. Walau
jalanan terus menerus turun, tapi beberapa kali kami harus istirahat, minimal
mengistirahatkan bahu yang mulai pegal hhe. Dua kali kita melewati sungai mati
bekas aliran lahar. Berbatu berwarna putih dari ujung atas ke bawah. “Lewat
mana Ndar?” aku meminta pendapat Kendar setelah dia menjelaskan tentang sejarah
sungai itu dan aku merasa takjub. “Agak naik aja cari jalan yang aman di injak”
Aku menurut dan berhasil sampai
di seberang bekas aliran lahar. 1 jam berjalan kami sampai di penghujung hutan.
HUTAN LUMUT ARGOPURO
Vegetasi lain yang sudah aku tunggu tunggu sudah ada didepan mata, hutan lumut.
Pintu hutan itu Nampak di kejauhan, berwarna hijau gelap dan rapat. Tepat pukul
3 sore kami mulai berjalan, berharap sebelum matahari tenggelam kita sudah
sampai di Danau taman hidup, semoga. Kita disambut dengan pohon pohon tinggi
menjulang dengan lumut disekujur batang sampai akar akar bergelantungan dari
atas. Suasana menjadi lebih dingin dan lembab. Untungnya jalanan cukup lebar
sehingga aku masih bisa jaga jarak dengan lebatnya hutan di sisi kiri kanan.
Beberapa menit memasuki hutan lumut, aku merasa takjub karena hutan ini benar benar
diselimuti lumut hijau disegala tempat. Suara suara aneh mulai muncul dan
Kendar memintaku untuk terus berjalan. “Lutung Mer”
Aku diam saja mendengar jawaban
Kendar, suara kresek kresek binatang bergelantungan itu silih berganti dari
sisi kanan dan kiri, aku selalu waspada dan mempercepat langkah kaki. Sampai
tidak sadar kalau Kendar tersandung saking cepatnya kita berjalan. “Mer,
istirahat” aku mengerem, mempersilahkan Kendar untuk beristirahat namun aku
sendiri tetap berdiri. Beberapa menit melemaskan kaki kita berjalan lagi.
Jalanan di hutan lumut dari atas terkadang mendatar terkadang menurun, dan
membuat speed jalanku bertambah cepat. entah karena aspek ketakutan atau diluar
control, aku bahkan tidak berniat duduk walau kaki rasanya mau mati rasa. Aku
hanya sesekali membungkuk, mengistirahatkan bahu yang mulai terasa sakitnya.
Beberapa kali kita melihat binatang bergelantungan di atas. Berharap tidak
bertemu dengan binatang lain selain itu. Rasa capek yang luar biasa masih kalah
dengan semangat menemukan sinar matahari yang seharusnya masih bersinar. Jalan
seperti tidak ada ujungnya, sama saat hari pertama menuju pos mata air 1. Tapi
kita tetap terus berjalan. Beberapa kali kami bertemu batang pohon yang
tumbang. Kendar mengistirahatkan kakinya, sementara aku tetap berdiri, tidak
berniat meneguk setetes air. Intinya satu, aku hanya ingin keluar dari hutan
ini. Sudah terlalu ngeri hanya untuk berdiam diri ditengah hutan yang lembab dan gelap. Beberapa kali kita tertipu tentang ujung hutan lumut, nyatanya jalan masih
panjang. Disini tidak ada petunjuk ke arah ke Danau Taman Hidup namun hanya ada ikatan
ikatan bekas bungkusan plastic dan arah ke puncak, tapi jalur disini jelas dan
hanya 1. Ingin rasanya mengeluh, tapi hanya sampai tertahan di dalam hati. Aku
dan Kendar berjalan dalam kesunyian tidak berniat membuat suara gaduh. Beberapa
menit kemudian kita menemukan pertigaan dan di balik pepohonan rimbun, ada
tanda panah kekiri. Aku teringat review yang pernah aku baca, danau taman hidup
belok ke kiri. Semangatku bertambah berkali kali lipat dan alhamdulilah, kita
tiba di lahan camp danau taman hidup! Pukul 16.10!
Ini perjalanan tercepatku, dan
aku akui kakiku langsung lemas seketika! berasa tidak bertulang Haha. benar benar mati rasa setelah 4 hari berjalan. Kendar mengeluarkan tenda, aku
melepas sepatu dan meletakkan keril sembarang, mengambil botol kosong. Dengan
telanjang kaki aku berjalan menuju dermaga danau yang letaknya 2 menit dari
lahan camp. Di lahan camp hanya ada rombongan om Lilik dan dari Jakarta tadi.
Karena kendar belum mau diajak ke danau sedangkan aku sudah tidak tahan untuk
menyentuh air, aku dengan sok beraninya sendirian pergi. Diluar pemikiran negatif aku sadar dengan apa yang aku lakukan, sendirian. Pinggiran danau begitu
luas dikelilingi bukit. Aku berjalan tertatih sampai di ujung dermaga rusak.
Saat itu aku sadar bahwa aku hanya sendirian di lokasi seluas seterbuka dengan
danau yang tenang. Saat menengok ke belakang rasanya sayang jika aku kembali, air
hanya beberapa langkah dari ku, aku ingin membasuh kaki. Dengan niat dan
bismillah semua akan baik baik saja aku naik ke dermaga dan duduk di mulut
dermaga, mengambil air dengan botol. Beberapa menit di sini, aku melihat om
lilik berjalan ke arahku. Alhamdulilah ada teman. “Mas, mau ngapain?”
“Ngikut kamu wae lah, disana
ngeliatin orang pacaran”
“woh, mas dian sama mba ayu ya
hehehe”
Om lilik diam saja. Lalu om lilik duduk di sisi dermaga dan
aku di sisi yang lain membersihkan telapak kaki. Kita ngobrol ke sana kemari,
mulai dari waktuku yang cepat saat berjalan di hutan lumut (cieh, rekor nih), sampai kondisi
rombongan om lilik. Ternyata om lilik baru pertama kali bertemu dengan mas dian
mba ayu dan mas iwan. Mba ayu dan mas dian adalah 1 tim, dan mas iwan adalah
orang Jakarta yang kerja di Surabaya. Mereka bertemu di terminal Surabaya dan
naik bareng. Aku tidak bisa membayangkan rasanya 5 hari naik dengan orang yang
pertama kali kita kenal. Om lilik sudah pernah ke Argopuro, mas dian dan mba
ayu baru beberapa bulan lalu ke argopuro dan ketagihan. Aku juga ketagihan. Hihihi.
Setelah
selesai membersihkan kaki dan mengambil air untuk wudhlu, aku kembali ke
camping ground, menunaikan sholat dhuhur dan sholat ashar. Kendar dibantu mas
dian mendirikan tenda, tepat disebelah tenda mereka. Sementara hari makan gelap
beberapa orang berdatangan dari arah puncak maupun dari arah Bremi. Camping
ground malam itu sepertinya akan ramai, namun Andini, Ghufron dan Yanuar belum
juga sampai. Setelah melewati 4 hari ini aku yakin semua akan baik baik saja
dengan mereka namun aku tidak bisa membayangkan mereka melewati hutan lumut
sesore ini.
Selesai
menunaikan sholat, sambil terus melirik ke arah dalam hutan, aku membereskan
logistic dalam keril. Dan saat itu Andini, Yanuar dan Ghufron datang, namun
bukan dari sisi kiri tapi dari tepian. “Aaaaaa kaliaaann sampai jugaaaa” ku
sambut mereka dengan teriakan, seperti biasa. Sore itu seperti biasa kami
disekitar tenda. Dalam beberapa waktu, camping ground menjadi gelap dan barang
barang masih berserakan di luar. Sembari menata barang barang, kami
bercengkrama dan bergantian menunaikan sholat maghrib. Tidak ada yang beribadah
diluar kecuali kami ber 4.
CAMP DI DANAU TAMAN HIDUP,
Malam
terakhir di gunung Argopuro. Jam menunjukkan pukul 7 malam. Kami tergeletak di
dalam tenda. Muka muka lelah menyelimuti wajah kami. Yanuar dan Andini malas
malasan bermain kartu, Kendar membantuku di teras tenda untuk makan malam.
Ghufron sudah siap dengan sarung tangan, kaos kaki dan baju tidurnya. Kami
berlima benar benar lelah hari itu, sebenarnya aku juga berniat ingin
menuntaskan tidurku yang tertunda. Namun sepertinya kami terlalu sayang jika
malam itu kita langsung tidur. Malam malam sebelumnya kami selalu datang di
lahan camp saat matahari mulai tenggelam bahkan sudah tenggelam. Lalu kami
membagi tugas untuk mendirikan tenda, memberekan keril, menata dalam tenda,
memasak lalu jam sudah menunjukkan pukul 10 dan kami harus tidur dalam sleeping
bag masing masing karena besok harus melanjutkan perjalanan lagi pagi pagi.
Semuanya serba terjadwal agar kami tidak berjalan dimalam hari. Tapi malam ini
jam 7 kami sudah tidak ada kerjaan dan malam terakhir sebelum kembali lagi ke
kota.
Setelah
sholat isya yang godaannya berat, hmmm karena diluar dinginn banget dan makan
malam. Kami berinisiatif main kartu. Tapi aku sendiri engga jago main kartu, 2
kali, 3 kali main kami mulai bosan. Ghufron yang main sambil tiduran mulai
tanda tanda pengen tidur, kami menimpuknya dengan jaket atau sleeping bag.
Tidak ada yang boleh tidur sebelum kesepakatan hehe. Akhirnya kami memutar
otak, mencari permainan lain. Entah siapa yang memulai, kami mulai permainan
baru yang dinamakan heart to heart. Permainan sederhana sebenarnya, tapi kami
ber5 menjadi nggak ngantuk lagi. Semua kartu dijadikan 1 dan diacak. Masing
masing dari kami mengambil 1 kartu dan siapa yang kalah akan diberi pertanyaan
dari yang menang. Harus di jawab jujur dan nggak pake lama ! haha. Aku tahu
arah pembicaraan ini nggak jauh jauh dari kehidupan pribadu. Yuhu, kami berlima jadi tahu
siapa yang lagi dideketin atau siapa yang lagi pdkt, siapa pacarnya sekarang,
siapa yang jadi gebetan sampe korek mengkorek mantan dan masa lalu. Hah
pokoknya semuanya nggak ada yang tersisa dan bikin suasana jadi memanas! Kami
ketawa dan saking asyiknya lupa kalau sudah malam dan lahan camp ini banyak
orang, ketawa kami terlalu keras. Saat mendengar cerita Andini yang ngompol di
hutan lumut dan cerita ceirta yang lain saja aku bisa sampai ngakak dan guling
guling sakit perut. Dan yang terpenting kami saling sharing tentang perjalanan
kita 4 hari ini. Jujur jujuran tentang suka duka nya. Andini minta maaf karena
ngerepotin. Ghufron dan yanuar nggak masalah jadi sweeper. Kendar juga minta
maaf karena ninggalin kita. Aku sendiri... galau. Haha minta maaf juga, karena
lebih bisa mengikuti ritme Kendar daripada Andini. Cerita bagaimana mereka
bertiga (andini, yanuar dan ghufron) juga sempat takut saat hari pertama belum
menemukan pos mata air 1. Mereka jalan tanpa jarak karena hutan sangat gelap. Bagaimana
Andini bertemu dengan babi di cerukan ialalang tinggi dihutan pinus, merasa was
was di hutan lumut dan sederet kejadian lain yang aku sendiri juga mempunyai
rekamannya dalam pikiranku. Sungguh, pengalaman yang sebelumnya tidak pernah
aku bayangkan. Cuaca yang semula dingin sampai gigiku bergemeletuk saja sirna
dan berganti kehangatan di dalam tenda. Tapi saat pintu tenda dibuka wuzzzzzz
dinginnya langsung sampe ke tulang tulang. Karena itu kami langsung sepakat
tidak membuka tenda dan melanjutkan sesi curhat gila ini sampai pukul 1 pagi!! Lalu kami tidur dan khilaf karena ketawanya terlalu keras takut membangunkan orang orang di
camping ground hehe.
note : tidak terlalu banyak foto, bahkan sepertinya tidak ada foto. kami hanya berjalan, menikmati apa yang dinamakan alam. telah mencapai setengah tujuan membuat kami ingin segera menuntaskan setengah tujuan kami untuk sampai di bawah. walau endingnya kami malah ingin mengulang lagi perjalanan itu.
Komentar
Posting Komentar