REALITA
6 januari 2016
Pernah menonton sebuah sinetron atau FTV?
Saat kamu menontonnya pasti kamu pernah bilang kalau itu sebuah khayalan, tapi terkadang di sebuah puzzle kehidupan, ada kepingan dimana kita pernah menjadi bagian adegan itu, melankolis.
Saat kamu menontonnya pasti kamu pernah bilang kalau itu sebuah khayalan, tapi terkadang di sebuah puzzle kehidupan, ada kepingan dimana kita pernah menjadi bagian adegan itu, melankolis.
Aku bahkan masih belum bisa menebak kenapa dia meminta untuk duduk diteras
rumahku sebelum pulang. Aku sudah berusaha untuk tersenyum, tertawa dan
mencairkan suasana seperti biasa, seperti tadi sebelum dia melakukan pengakuan
yang samar samar ku dengar tapi begitu nyata. Tapi dia hanya diam. Kukira dia
ingin mengatakan sesuatu tapi yang dia lakukan hanya duduk.
Entah kenapa dia mengatakan ini, “Nggak tahu kenapa berat untuk
pulang”
Satu kalimat itu begitu lirih, pelan. Sampai aku bingung bagaimana mengartikannya.
Aku sendiri mencoba berbagai posisi agar nyaman, tapi semuanya tidak nyaman. Setelahnya dia tetap diam sedangkan seharusnya ada yang di katakan. Dan tiba tiba ingatanku
kembali disaat aku menjemputnya di stasiun, bubur ayam yang sering kita
datangi, dan minum kopi sewaktu hujan di Ayara.
“Kamu capek? Mukamu ketekuk gitu”
Satu pertanyaannya membuyarkan lamunanku. Kukatakan tidak, aku rasa aku
tidak capek, bahkan hari ini aku hanya setengah hari dikantor, dan nggak cukup
ngantuk untuk malam ini. Apa aku terlihat berbeda setelah pengakuannya itu?
Tapi aku kira dia lah yang terlihat lelah, melihat dia hanya duduk diam dengan
pandangannya yang entah dimana.
“Kamu nggak pulang? Besok katanya mau pergi pagi”tanyaku.
Aku sudah lelah dengan sepi ini, walau dalam hati ini ingin dia tetap
disini mengatakan sesuatu, sesuatu untuk mengkhiri semuanya dengan jelas. Karna aku kira ini akan segera berakhir, setidaknya ada yang dia
katakan sebelum perpisahan ini nyata terjadi.
Dia menggeleng, “besok aku bisa bangun pagi kok”
Lalu dia mulai bercerita, bercerita tentang Ibukota, tentang nasehatnya
untukku disana, seakan melepaskan kepergianku untuk tempat yang jauh,
membiarkanku menggapai mimpi yang pernah dia ajarkan. Haha tiba tiba aku
menjadi tersentuh. Sampai dia membuatku tertawa, lalu menangis. Aku meneteskan
air mata, hanya sekali. Dan untungnya dia enggak melihatnya. Lalu kita berdua
tertawa, tentang hal yang terkadang hanya kita berdua yang tau. Tuhan sepertinya
memberikan kita kesempatan, kesempatan ke tiga... dalam waktu 2 bulan. Agar
kita punya waktu untuk memulai semuanya, menjadi biasa ...
“Masih bisa nggak ya kita ketemu 2 bulan lagi?”
Dia tertawa ringan, “Deket mah Cuma 1 jam, 2 bulan nggak lama”
Aku Cuma tersenyum menanggapinya. Tidak seperti itu, bahkan aku kira
dia tau apa yang aku maksud, bukan pertemuan seperti itu. Tapi kita, karna aku
yakin tak ada lagi tawa di ruang tamu ini denganmu.
Dia akhirnya pamit, pergi tanpa mengatakan yang sepertinya dia ingin katakan, yang
ingin dia jelaskan. Tapi tanpa dia katakan pun, aku sudah tau sekarang. Bahkan sebelum dia
akhirnya menghubungiku, memang ada yang seharusnya dikatakan
Seharusnya dia tak pernah menawariku untuk bertemu di kota itu.
Ada sedikit rasa pedih, bahkan ini tidak pernah aku bayangkan akan terjadi.
Walau sebelumnya pernah aku rasakan sewaktu di Ayara, ketika ada yang ingin dia
katakan. Dan bahkan aku bisa melihatnya dari warung bakmi sebelah fakultas
malam itu, tawa yang sudah lama tidak aku lihat. Ada sesuatu yang dia
sembunyikan. Yang entah harus aku tau aku tidak.
Mungkin kita berdua memang salah, salah karena sama sama menunggu untuk hal
yang seharusnya kita katakan. Mungkin dia yang mencoba mencari waktu yang
tepat setelah itu. Setelah Bangka, setelah waktu itu. Sebelum aku pergi dari
kota ini, agar kita sama sama memiliki jarak. Walau sebelumnya aku terlebih dahulu untuk menjaga jarak tapi dia kembali
lagi.
Sekarang aku mulai sadar, bahwa kemarin itu adalah caranya
untuk perpisahan. Seharusnya aku sadar bahwa telah terjadi sesuatu setelah di
Bangka, bahwa akan ada cerita baru yang harusnya aku sadari.
Seharusnya dia juga tau, bahwa Bangka cukup untuk memisahkan jarak, bahwa
tidak mungkin sesuatu terjadi setelah itu, bahwa ternyata kenangan sudah
terjadi semenjak disana. Dan semua kata “menunggu” itu hanya kiasan karena
seperti yang dia bilang,bahkan setelah aku bilang jangan menunggu.
Kita sama sama tahu bahwa kita tidak bisa
bersama seperti ini, tapi kita sama sama tidak bisa mengatakannya, atau tidak
tau cara mengatakannya. Bahkan sampai aku merasa menjadi anak kecil dengan
melampiaskannya setelah aku melihat sesuatu yang seharusnya tidak aku lihat dan
seharusnya menjadi biasa.
Tidak biasa karena dia telah mengulangnya kembali. Sebesar apapun perasaan itu tidak akan membuatnya lebih baik
walau dari keduanya. Sampai suatu ketika harus ada yang mengalah dan tidak
pernah bertemu...
Komentar
Posting Komentar